China Times (Hong Rong-zhi dan Zhou Xiao-ting melaporkan dari Tainan)
Beberapa waktu yang lalu, sebuah foto yang menyentuh hati tersebar di internet. Foto itu menggambarkan seorang pria yang menggendong wanita lanjut usia dengan kain gendongan, seperti seorang ibu yang menggendong anaknya. Foto itu begitu mencuri perhatian dan banyak orang yang bertanya, siapa dia? Siapa yang digendongnya? Apa yang sedang mereka lakukan?
Foto tersebut rupanya adalah foto seorang pria yang sudah berusia 62 tahun dan bernama Ding Zhu Ji. Ia sedang berada di salah satu rumah sakit di China untuk mengantarkan ibunya. Sang ibu yang sudah berusia sangat tua, ringkih dan mengalami patah tulang, akhirnya digendong oleh Ding Zhu Ji ke rumah sakit. Ia melakukannya karena berpikir bahwa menggendong ibunya ke rumah sakit akan lebih cepat sampai dan dirinya tidak akan merasa terlalu lelah walau menggendong ke sana.
Pria ini sama sekali tak menduga bahwa apa yang ia lakukan akan mencuri perhatian banyak orang. Pemandangan yang begitu menyentuh ini kemudian diabadikan oleh seseorang dalam bentuk foto yang kini beredar luas di internet. Selain itu, CCTV rumah sakit juga sempat merekam momen di mana pria ini menggendong ibunya yang nampak seperti bayi.
Ding Zu-ji membeberkan rahasianya: Hampir saja dibuang ke laut bersama ibunya
“Saya hampir saja tidak bisa terlahir ke dunia ini.” Ding Zu-ji, seorang pensiunan penyelidik khusus yang diambil fotonya sedang menggendong ibunya dengan sehelai kain kembang dalam sebuah rumah sakit di kota Tainan Taiwan, ketika menerima wawancara khusus dari para wartawan tanggal 6 Maret 2012 mengungkapkan sebuah rahasia betapa kehidupannya sangat berkaitan erat dengan kehidupan ibunya; dia mengatakan bahwa pada saat ibunya sedang mengandungnya enam bulan, naik kapal meninggalkan Tiongkok menuju Taiwan dan hampir saja dibuang ke laut karena tidak dapat menunjukkan kartu identitas diri.
“Saya adalah anak paling sulung dalam keluarga, hubunganku dengan ibu memang paling dekat dan itu ada cerita dibaliknya.” Ding Zu-ji mengenang kembali pada tahun 1950 ketika Pemerintah Nasionalis mundur dari Tiongkok ke Taiwan, disebabkan ayahnya adalah seorang prajurit, maka ibunya mengikuti keluarga prajurit lainnya untuk sama-sama naik kapal ke Taiwan; karena banyak sekali warga Tiongkok yang ingin pergi ke Taiwan, maka setiap kapal penuh sesak dengan manusia dan membuat setiap unit kapal kelebihan beban, para perwira dan prajurit di atas kapal melakukan pemeriksaan keamanan dengan sangat ketat demi mencegah naiknya musuh ke atas kapal, siapa saja yang tidak membawa kartu identitas diri akan dibuang ke laut.
Ding Zu-ji mengatakan kalau saat itu kebetulan ibunya sedang mengandungnya enam bulan, dengan perut buncit naik ke kapal untuk menuju Taiwan bersama-sama dengan keluarga prajurit lainnya; tak disangka ketika para perwira dan prajurit memeriksa kartu identitas diri, ibunya tidak bisa menemukan kartu identitas diri dan membuatnya sangat gelisah. Walau teman seperjalanan lainnya berinisiatif menjadi saksi, bahkan memohon belas kasihan dari para perwira dan prajurit, namun mereka tetap ikut aturan dan hampir saja membuang ibu yang sedang berperut besar ke laut.
Untungnya, ketika kedua belah pihak sedang berkomunikasi dan tarik menarik, mendadak ada orang yang menemukan ada selembar kartu identitas diri di bawah bangku panjang sebelah, setelah diambil ternyata adalah kartu identitas diri ibu yang jatuh karena kurang hati-hati, barulah terhindar dari ambang kematian. Ding Zu-ji berkata sambil tertawa: “Sejak itulah hubunganku dengan ibu sangatlah dekat.”
“Saya bukan anak berbakti!” Ding Zu-ji menekankan dengan nada menyalahkan diri sendiri, “Saya tidak merawat ibu dengan baik, sehingga ibu terjatuh dan patah tulang kaki kiri, bahkan keinginan ibu untuk pulang ke Tiongkok juga tidak mampu direalisasikan, sehingga tidak pantas untuk dikatakan sebagai anak berbakti.” Awalnya dia ingin menunggu kondisi tubuh ibunya membaik sedikit, baru akan membawanya pulang ke Tiongkok mengunjungi sanak keluarga di sana, Ding Zu-ji mengatakan dengan sedikit sedih: “Sayangnya ibu tidak bisa menunggu sampai saya bebas bepergian ke Tiongkok sudah pun kehilangan ingatan”; Ding Zu-ji harus menunggu selama tiga tahun sesudah pensiun sebagai penyelidik baru boleh pergi ke Tiongkok, dalam selang waktu tersebut ternyata semua ingatan ibunya sudah hilang, ini membawa penyesalan dalam diri Ding Zu-ji.
"Dengan menyimak kisah ini, Anda pasti pernah sejenak mengingat masa kecil Anda, kemudian membandingkannya dengan masa sekarang di mana Anda sudah dewasa dan bisa memilih serta memutuskan apa yang Anda inginkan. Masa kecil Anda dengan orang tua yang menimang dan menyayangi, sesekali memarahi dan membuat kita menangis atau kesal. Namun semua itu pada dasarnya adalah wujud kasih sayang orang tua yang ingin selalu bisa melindungi anaknya.
Lantas, sudah berbuat apakah kita pada orang tua? Bayangkan bila kita tua nanti. Kita bukan lagi sosok yang kuat dan bergairah seperti sekarang. Kita sudah menjadi sosok yang rapuh dan perlahan tapi pasti, usia akan memundurkan semua kemampuan kita. Kita akan kembali seperti bayi yang butuh pertolongan anak-anak kita.
Ding Zhu Ji adalah sebuah inspirasi nyata mengenai anak yang berbakti pada ibunya. Bagaimanapun orang tua kita sudah menua dan pikun, dahulunya mereka adalah orang yang selalu menuntun kita berjalan, mengajari kita bicara, tempat berlindung dan mencurahkan air mata, tempat bermanja yang tulus dan menyayangi kita. Berbaktilah pada orang tua. Lakukan apa yang bisa kita lakukan untuk membahagiakan mereka selagi kita masih bersama mereka.
Tunjukkan kehadiran Anda yang tersenyum tulus padanya. Maka tak ada yang lebih membahagiakan kedua orang tua Anda selain anak-anaknya yang masih mengingat dan menyayangi mereka."
( Sumber : news.chinatimes.com )