Translate

Indonesia di Antara Dua Raksasa!!


Indonesia sulit menempatkan posisi di tengah pertarungan dua negara raksasa dunia, Cina dan Amerika Serikat. Indonesia diharapkan tetap pada posisi netral, dengan memanfaatkan segala potensi kerjasama baik secara bilateral maupun lateral.

Perdana Menteri Cina Wen Jiabao berjabat tangan dengan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, (29/4).
Dua gajah bertarung pelanduk mati di tengah-tengah. Perumpamaan inilah yang diingatkan Evi Fitriani, terhadap posisi Indonesia terkait pembentukan Shanghai Cooperation Organisasi (SCO). Pakar Hubungan Internasional Universitas Indonesia ini mengingatkan adanya pertarungan dua raksasa dunia, Cina dan Amerika dengan pembentukan organisasi tersebut ”Kalau tidak hati-hati, kita hanya dimanfaatkan oleh negara besar untuk kepentingan mereka,” ujarnya.
Pembentukan Shanghai Cooperation Organisation (SCO) merupakan upaya Cina mengimbangi dominasi Amerika Serikat dalam percaturan politik global, khususnya di kawasan Asia Tengah. “Cina sepertinya ingin melakukan kontra hegemoni AS di Asia Tengah,” kata Rochdi Mohan, pengamat Hubungan Internasional asal Universitas Gajah Mada. Dua negara raksasa dunia itu memang dalam lima tahun terakhir bersaing dalam segala bidang.
SCO dibentuk pada 15 Juni 2001, setelah sebelumnya bernama Shanghai Five. Beranggotakan Cina, Rusia, dan negara-negara Asia Tengah seperti Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Uzbekistan. Para negara anggota menguasai 3/5 daratan Eurasia, yang dihuni lebih 1,5 milyar orang, atau satu per empat penduduk dunia. Keterlibatan Rusia dalam SCO kian mempertegas keinginan ”perang terbuka” dengan Amerika.
Pembentukan poros SCO ini memang tak membawa dampak secara langsung pada negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia. Sebab kehadiran forum kerjasama itu spesifik pada kawasan Asia Tengah. Tapi ceritanya menjadi lain, sebab dalam organisasi tersebut ada Cina dan Rusia, yang notabene memiliki jalinan hubungan kuat dengan Indonesia.
“Secara pertimbangan strategic, kita itu penggguna alutsista Rusia. Secara bilateral kita punya kerjasama pertahanan dengan Rusia. Dengan Cina kita juga punya kerjasama pertahanan yang disebut strategic partnership,” tutur Abdul Rivai Ras, Analis Dirjen Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan.
Seperti diketahui, Indonesia baru-baru ini membeli enam pesawat tempur Sukhoi jenis SU 30 MK2 dari Rusia. Tetapi sebelumnya, Amerika juga memberikan hibah 24 buah pesawat tempur jenis F-16 kepada Indonesia. Sementara pada pertemuan 16 Januari 2012 di Beijing lalu, Penasihat Negara dan Menteri Pertahanan Cina, Liang Guanglie mengatakan Cina ingin bekerjasama dengan Indonesia, salah satunya untuk memperkuat kerjasama antara militer kedua negara. Liang juga mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, militer Cina dan Indonesia terus meningkat kerjasama tingkat tinggi, konsultasi pertahanan, pertukaran kunjungan, pelatihan personil, peralatan, keamanan maritim dan keamanan multilateral.
Lalu bagaimana sikap dan posisi Indonesia di tengah pertarungan itu. Abdul Rivai menilai Indonesia dalam posisi sulit. Jika lebih condong ke Amerika, Indonesia akan tidak disukai Cina yang faktanya kini menjadi pemain kunci dalam percaturan ekonomi global. ”Kalau terlalu dekat dengan SCO atau Cina, mungkin itu akan mengganggu hubungan kita di ASEAN, karena banyak negara ASEAN yang dekat dengan AS,” ujarnya. Amerika juga memiliki banyak mitra di ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina, Vietnam.
Terkait posisi Indonesia, Pengamat Politik Cina Nur Rachmat Yuliantoro mengatakan Indonesia harus tetap bersahabat dengan kedua negara itu, dengan mengambil segala potensi kerjasama yang ada baik secara bilateral maupun lateral. “Tetapi kita juga tidak ingin terlibat terlalu banyak dengan urusan dalam negeri, misalnya konflik kelompok minoritas di Cina,” kata Rachmat. Menurutnya, hal itu sesuai dengan politik luar negeri Indonesia yang menganut gagasan bebas dan aktif serta million friends and zero enemies.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama usai memberikan pernyataan pers pertemuan bilateral di gedung Bali Nusa Dua Convention Centre (BNDCC), Nusa Dua, Bali, Jumat (18/11).
Namun Evi Fitriani menilai Indonesia justru kebingungan di tengah pertarungan dua negara raksasa tersebut. Pasalnya, Indonesia tak memiliki cetak biru politik luar negeri. Sehingga dalam menjalankan politik luar negeri, Indonesia bergerak tanpa platform dan roadmap yang jelas. “Kita punyanya politik ‘bebas aktif’. Tapi ‘bebas aktif’ yang seperti apa, harus didefinisikan lagi. Mau bebas ke semua orang atau gimana,” ujarnya.
Tiadanya cetak biru, menurut Evi, sangat membahayakan. Sebab arah politik negara ini menjadi tak menentu. Dalam konteks seperti itu, lanjut Evi, kecenderungan Indonesia biasanya akan memilih siapa yang paling menguntungkan. Azaz ’bebas aktif’ itu kemudian dibawa ke arah yang pragmatis. ”Jadi kalau Cina lebih menguntungkan soal tertentu, ya, kita ambil. Tapi kalau Amerika menawarkan lain yang lebih menguntungkan, ya, kita ambil,” sambungnya.
Pola demikian memang menguntungkan. Tapi, menurut Evi, harus hati-hati. Jika para pembuat kebijakan baik pemerintah maupun DPR tidak paham situasi, Indonesia malah akan mati di tengah-tengah, seperti peribahasa di atas.
http://www.prioritasnews.com/2012/06/20/indonesia-di-antara-dua-raksasa/